.............MALAIKAT PAGI..............
Di Ufuk Timur Kubaringkan Senja!
Menapaki Jalan Kecil Sang Malaikat Pagi
Dan Tersenyumlah.....Wahai Sang Perindu
Mungkin terjal Perjalanan yang kau tapaki
Namun selaksa madu kan kau reguk pada singgasana Sang Haqiqi.
Dan hanyanyalah Sekecup syukur yang senantiasas kau hentakan di pusara dadamu
Karena senja mulai menguning
Dan jangan kau lepaskan hati hingga hanya sebait puisi rinduku.......
"Maka, Nik'mat Mana Lagi Yang Kamu Dustakan"
SAYAP PATAH UNTUK BIDADARIKU
"KIMIA'05"
Sayap patah kekasih…
Kutunggu firdaus berbunga
Dalam takbir kematian
Sedaun lentik aurora marmara
Layu menyapa senja
Ranting-ranting kering wahai kekasih…
Tuangkanlah setetes embun untuk taubatku
Hingga sujudku mengakar bernada dan berirama
Puasamu adalah cinta suciku
Dzikirku adalah pelita kerinduanku pada-Mu
Ababil firdausku luka…
CERPEN RINDUKU "Kumandang Cinta dalam Sayap Malika"
Senja berputar menarik nafasnya dari bisik rindu alam yang
menggelayut, dalam hamparan pasir di pantai Anyer `cilegon'. Di suatu
sudut, semilir angin menatap dan menyapa daun nyiur yang melambai.
Dudukku di bawah pohon nyiur dengan denting nada-nada gitar yang
kupetik, senar khas yang baru saja kupasang, menderu nan syahdu.
Kucoba berkali kali memetiknya, sesekali mataku berkedip ketika si
lesung pipit menggodaku.
"Malika, kau benar-benar cantik," pujiku dalam hati.
Gerak lentik jemari malika, lesung pipitnya, keanggunannya, terus
menggoda hatiku, dan setangkai Daun Cinta yang ranum yang sedari tadi
kusembunyikan untuknya.
"Haruskah cinta ini terus kupendam?"
"Gila! Perasaan ini sungguh memenjarakanku, seolah-olah kini diriku
berada alam keterasingan, di gurun sahara! kenapa mulutku terkunci
rapat?" Aku terus membatin. "Masa harus ku katakan secepat ini pada
Malika?"
"Ah, tapi apa salahnya? Haruskah selamanya aku merana dalam
keterasingan dan kegelisahan hati menantinya? Tegang senar ku petik,
iramanya terus menari. Padahal tinta merah telah mencair begitu
deras. Memang ketika rasa cinta ini tiba. Maka, segala luka tak lagi
dapat berkata. "Bukankah cinta ini adalah anugerah suci dari sang Maha
Agung". Tanpa cintanya, apalah adanya aku, Malika….Oh…" Aku terus
berbicara sendiri, hingga membatin!
Malika terus mengumandangkan suara lembutnya, akhirnya akupun
memberanikan diri mengatakan perasaanku padanya. Sebenarnya hatiku
meriang saat detik-detik mutiara kata yang kupendam tiba-tiba kelu
kurasa dimuara lidahku, dan membeku! Aku perlu waktu beberapa detik
untuk menarik nafas bumi dan menganalisa kata terindah untuk kuucapkan.
"Wahai Muara Cinta maukah engkau menjadi pualam yang menghiasi lautan
hatiku?"
Malika tampak terkejut. Mutiara mengalir dari kelopak matanya.
"Apakah maksudmu wahai Samudra Perindu? Aku tidak mengerti?"
Akupun terkejut. Rasanya dunia runtuh diatas kepalaku. "Maafkan aku
Pecinta Sejati, Muara Cintaku t'lah meneteskan mutiaranya, karna
diriku. Karena ucapanku". Risau menggelayaut dalam hatiku. Aku takut
Muara Cinta menolakku.
"Malika, sungguh aku sangat menyukaimu. Dapatkah aku menjadi
pendampingmu untuk selamanya? akan ku bagi sayap-sayap perindu dan
cinta, sehingga dapat menghiasi dunia ini bersamamu
Malikapun benar-benar nampak terkejut. Jemarinya bergetar, bibir
tipisnya memerah. Berlipat-lipat. Rapat!. Lama dia terdiam menunduk
dan dalam getaran jemari setangkai Daun Cinta yang ku berikan
memancarkan harum mewangi. Kediamannya membuatku semakin tegang.
Kutahan nafasku dalam dalam. Deep pisan, kitu pokonamah!.
"Apakah kau sungguh-sungguh Eqbal?" Akhirnya Malika berucap lirih.
"Tentu saja Samudra Cintamu ini sungguh-sungguh, wahai Muara Cintaku".
Malika menarik napasnya sesaat, lalu berkata perlahan-lahan dan
dengan suara nyaris berbisik. "Kalau Eqbal memang sungguh-sungguh,
maukah Eqbal menunjukkan pada malika kalau Eqbal memang mencintai
malika? Maaf, ini sangat penting bagi malika. Wahai Samudra Perindu".
Ucap malika sembari menatap tajam kearah bola mataku.
Otakku terus berputar, ombak semakin menderu menggulung-gulung karang
begitupun pasir-pasir berbisik lirih, tak ketinggalan jingga tampak
membentang dalam rona sang fajar terbenam. Tetap saja hatiku gundah.
Walaupun agak bingung, akhirnya aku menyanggupinya!
Tak sadar dengan semerbak kebahagiaan yang mulai menatapku, separuh
hatiku berbisik bahwa malika mulai menerimaku. Percaya Diri! "Akh……"
seketika itu pula rasa sakit menyelip dalam rongga dan bernafas dalam
jaring-jaring jemariku hingga tak sadar teriakku menampar desir pantai.
"Eqbal. Jema...jemarimu berdarah…". Ucap malika
Wahai muara Cintaku, Malika. Ini tidak seberapa. Andaikan hatiku dan
sayap-sayap cintaku patah, demi engkau aku rela, bahkan andaikan
Malaikat Maut menjemputmu akan ku tukarkan nyawaku untukmu. Wahai
muara Cintaku!
Senja mulai menguap dalam tabir sang jingga menyapa malam, Malika
beranjak dari balik bahuku yang sedari tadi menjadi sandaran. Dalam
sekejap ia menghisap tetesan darah yang sedarai tadi memancar dari
jemariku. Sesekali ia tersenyum dalam lipatan bibir tipisnya yang manis.
"Samudra Perinduku, sekarang tak ada tinta merah yang menetes di
jemarimu. Dan aku takkan membiarkannanya menetes lagi. Apalagi jika
Malaikat maut datang Menjemputmu. Wahai Samudra Perindu, aku akan jauh
lebih tak rela melepas kepergianmu dan meninggalakan sayap-sayap
perindu dan cinta dalam kesendirianku di bumi ini. Hingga jiwaku merana!".
"Malika, Muara Cintaku. Jangan kau teruskan…."! Sembari kutaruh jari
telunjukku dalam bibirnya yang halus. "Malika, Muara Cintaku. kau
belum menjawab pertanyaanku! "
Sang fajar mulai menenggalemkan diri, dalam keterasingan senja dimana
rembulan menari menanti sang gempita malam. Malika memandangku dan
menjawab dengan nada hati-hati, "Aku adalah sang Muara Cinta yang
sangat bahagia, Tuhan menemukan kita dalam rona dan rongga bumi. Ada
hati yang tersisa dan membakar hingga membara. Wahai samudra perindu,
muara cintaku telah hanyut, telah berenang pada alam. Matahari telah
membawa lari cintaku!
"Apa maksudmu, malika?" Aku sungguh tidak mengerti….! Tatap mataku
malika, apa sebenarnya yang telah terjadi? Malika, Tuhan telah
ciptakan aku ada dan mempertemukan kita.
"Eqbal….Cintaku telah kugadaikan padaNya. Pada siapa Malika? Desak
ucapku. "Maafkan aku eqbal…" ucap lirih Malika sembari meneteskan air
mata.
"Malam itu, tepat usiaku 17 tahun, selendang putih terhampar luas
menemani langkahku. Tampak lurus tak berliku. Sepanjang taman kutemui
keindahan alam yang tak pernah kulihat sebelumnya. Indah dan maha
indah, semua terpadu dalam keterpaduan, beberapa langkah kemuadian aku
merasa kehausan dan beberapa langkah dari arah sebelah kananku kutemui
muara air yang sangat bersih. Sebelum tangan kutuangkan untuk
mengambil seteguk air tiba-tiba muncul seorang nenek yang membawa
serbuk perindu untuk menyirami pohon-pohon cinta yang mulai ranum,
tampak lusuh, terlihat capai teramat sangat! Tapi mukanya berseri
secerah bulan purnama. Tapi celaknya diriku Eqbal. Aku serakah, aku
sombong. Demi seteguk air untuk menghapus dahagaku aku lupa dengan
keterpaduan alam itu, aku menginjak pohon-pohon cinta yang mulai
ranum. Dan tahukan engkau wahai samudra Perinduku. Dialah Nenek tua
yang menanam pohon cinta dengan mata air yang bersih itu sebagai
sumber kebahagiaan dan cinta anak adam di bumi! Seketika itu pula mata
air mengering dan pohon cintapun ikut mengering begitu pula raut muka
nenek itu membeku tak bersinar.
"Wahai anakku…!matamu telah membutakan hatimu dan keringnya pohon
cinta menandakan terpenjaranya cintamu, takkan berakar dan mengakar.
Tapi jika kau mau sedikit ada benih cinta dalam hatimu, maka
gadaikanlah cintamu! Maka ranumlah semerbak cinta anak adam di bumi.
Dan ketika pecinta sejati menebus cinta untuk mu, maka takdir akan
menjemputmu dan meninggalkannya. " Ucap si Nenek disambut dengan
hembusan angin dingin. Membeku!. Akhirnya akupun terbangun dan
menggigil sekujur tubuhku.
Dan semua rasaku t'lah terbang dengan kepakan sayapnya hingga kini,
detik ini, wahai Samudra Perindu. Aku tak berdaya! Mimpi itu menjelma
dan menyisakan luka dan air mata.
"Malika…malika! Sadarlah engkau, kini aku ada. Untuk mu untuk cintamu,
perindumu! Akan kupupuk cinta itu dengan serbuk dan sayap-sayap
perinduku, cintamu akan ranum akan mekar malika…….!".
"Tuhan….ini tidak adil bagiku. Aku sangat mencintai malika. Tuhan aku
rela menebus cinta malika yang telah ia gadaikan…aku rela…ambillah
cintaku untuk menebusnya tuhan….ambillah… .!
Seketika itu hujan deras turun, petir menyambar, menggelegar. Tak
nampak lautan kulihat hanya desir ombak berteriak dan malam semakin
pekat. Tiba-tiba teriakan petir menghempas malika yang sedari tadi
ketakutan.
"Malika……….!" Teriakku. Malika terbujur kaku dan setangkai daun cinta
yang ia pegang mulai layu. Kupegang jemarinya, kupegang urat nadinya.
Dengan suara lirih Malika berucap. "Aku sangat Mencintaimu wahai
Samudra Perinduku, Eqbal. Sungguh aku dalam ketakutan yang teramat
sangat karena ketika Cintaku kau tebus maka Cintaku berpindah kedalam
ragaku tapi takdir akan memanggilku padaNya. Simpanlah daun cinta ini,
rawatlah dan siramilah dengan sayap-sayap perindu yang kau miliki".
Tidak Malika…tidak…! Jangan tinggalkan aku malika, jangan tinggalkan
aku…"Jangan tinggalkan aku……."teriakku mengalahkan marahnya halilintar
menggelegar.
Terbujur kaku tubuh malika dalam pangkuanku setelah kata-kata terindah
ia kumandangkan untukku. Kini tak ada detak nadi, tak ada sisa kata
yang terukir dari bibirnya yang halus. Tipis! Tak akan ada lesung
pipit lentik yang menghiasi pipinya. Dan yang tersisa adalah kalimat
terindah yang akan menemaniku dalam kebisuanku kini. Ya, kata-kata
yang akan mengakar dan akan kupupuk membatin dalam hatiku agar cintaku
dan cintanya ranum. Kata-kata terakhir yang ia wariskan untuk cintaku
dan cintanya bersemi dan kata-kata yang dinanti semua pujangga di
muka bumi.
"Aku sangat mencintaimu wahai samudra Perinduku"!
Pohon Cinta :
- Ranumnya sbg Kekuatan Cinta Anak Adam
- Keringnya sbg Kutukan Cinta Anak Adam
- Daun Cinta a/ Hakikat Malika ada
Di Ufuk Timur Kubaringkan Senja!
Menapaki Jalan Kecil Sang Malaikat Pagi
Dan Tersenyumlah.....Wahai Sang Perindu
Mungkin terjal Perjalanan yang kau tapaki
Namun selaksa madu kan kau reguk pada singgasana Sang Haqiqi.
Dan hanyanyalah Sekecup syukur yang senantiasas kau hentakan di pusara dadamu
Karena senja mulai menguning
Dan jangan kau lepaskan hati hingga hanya sebait puisi rinduku.......
"Maka, Nik'mat Mana Lagi Yang Kamu Dustakan"
SAYAP PATAH UNTUK BIDADARIKU
"KIMIA'05"
Sayap patah kekasih…
Kutunggu firdaus berbunga
Dalam takbir kematian
Sedaun lentik aurora marmara
Layu menyapa senja
Ranting-ranting kering wahai kekasih…
Tuangkanlah setetes embun untuk taubatku
Hingga sujudku mengakar bernada dan berirama
Puasamu adalah cinta suciku
Dzikirku adalah pelita kerinduanku pada-Mu
Ababil firdausku luka…
CERPEN RINDUKU "Kumandang Cinta dalam Sayap Malika"
Senja berputar menarik nafasnya dari bisik rindu alam yang
menggelayut, dalam hamparan pasir di pantai Anyer `cilegon'. Di suatu
sudut, semilir angin menatap dan menyapa daun nyiur yang melambai.
Dudukku di bawah pohon nyiur dengan denting nada-nada gitar yang
kupetik, senar khas yang baru saja kupasang, menderu nan syahdu.
Kucoba berkali kali memetiknya, sesekali mataku berkedip ketika si
lesung pipit menggodaku.
"Malika, kau benar-benar cantik," pujiku dalam hati.
Gerak lentik jemari malika, lesung pipitnya, keanggunannya, terus
menggoda hatiku, dan setangkai Daun Cinta yang ranum yang sedari tadi
kusembunyikan untuknya.
"Haruskah cinta ini terus kupendam?"
"Gila! Perasaan ini sungguh memenjarakanku, seolah-olah kini diriku
berada alam keterasingan, di gurun sahara! kenapa mulutku terkunci
rapat?" Aku terus membatin. "Masa harus ku katakan secepat ini pada
Malika?"
"Ah, tapi apa salahnya? Haruskah selamanya aku merana dalam
keterasingan dan kegelisahan hati menantinya? Tegang senar ku petik,
iramanya terus menari. Padahal tinta merah telah mencair begitu
deras. Memang ketika rasa cinta ini tiba. Maka, segala luka tak lagi
dapat berkata. "Bukankah cinta ini adalah anugerah suci dari sang Maha
Agung". Tanpa cintanya, apalah adanya aku, Malika….Oh…" Aku terus
berbicara sendiri, hingga membatin!
Malika terus mengumandangkan suara lembutnya, akhirnya akupun
memberanikan diri mengatakan perasaanku padanya. Sebenarnya hatiku
meriang saat detik-detik mutiara kata yang kupendam tiba-tiba kelu
kurasa dimuara lidahku, dan membeku! Aku perlu waktu beberapa detik
untuk menarik nafas bumi dan menganalisa kata terindah untuk kuucapkan.
"Wahai Muara Cinta maukah engkau menjadi pualam yang menghiasi lautan
hatiku?"
Malika tampak terkejut. Mutiara mengalir dari kelopak matanya.
"Apakah maksudmu wahai Samudra Perindu? Aku tidak mengerti?"
Akupun terkejut. Rasanya dunia runtuh diatas kepalaku. "Maafkan aku
Pecinta Sejati, Muara Cintaku t'lah meneteskan mutiaranya, karna
diriku. Karena ucapanku". Risau menggelayaut dalam hatiku. Aku takut
Muara Cinta menolakku.
"Malika, sungguh aku sangat menyukaimu. Dapatkah aku menjadi
pendampingmu untuk selamanya? akan ku bagi sayap-sayap perindu dan
cinta, sehingga dapat menghiasi dunia ini bersamamu
Malikapun benar-benar nampak terkejut. Jemarinya bergetar, bibir
tipisnya memerah. Berlipat-lipat. Rapat!. Lama dia terdiam menunduk
dan dalam getaran jemari setangkai Daun Cinta yang ku berikan
memancarkan harum mewangi. Kediamannya membuatku semakin tegang.
Kutahan nafasku dalam dalam. Deep pisan, kitu pokonamah!.
"Apakah kau sungguh-sungguh Eqbal?" Akhirnya Malika berucap lirih.
"Tentu saja Samudra Cintamu ini sungguh-sungguh, wahai Muara Cintaku".
Malika menarik napasnya sesaat, lalu berkata perlahan-lahan dan
dengan suara nyaris berbisik. "Kalau Eqbal memang sungguh-sungguh,
maukah Eqbal menunjukkan pada malika kalau Eqbal memang mencintai
malika? Maaf, ini sangat penting bagi malika. Wahai Samudra Perindu".
Ucap malika sembari menatap tajam kearah bola mataku.
Otakku terus berputar, ombak semakin menderu menggulung-gulung karang
begitupun pasir-pasir berbisik lirih, tak ketinggalan jingga tampak
membentang dalam rona sang fajar terbenam. Tetap saja hatiku gundah.
Walaupun agak bingung, akhirnya aku menyanggupinya!
Tak sadar dengan semerbak kebahagiaan yang mulai menatapku, separuh
hatiku berbisik bahwa malika mulai menerimaku. Percaya Diri! "Akh……"
seketika itu pula rasa sakit menyelip dalam rongga dan bernafas dalam
jaring-jaring jemariku hingga tak sadar teriakku menampar desir pantai.
"Eqbal. Jema...jemarimu berdarah…". Ucap malika
Wahai muara Cintaku, Malika. Ini tidak seberapa. Andaikan hatiku dan
sayap-sayap cintaku patah, demi engkau aku rela, bahkan andaikan
Malaikat Maut menjemputmu akan ku tukarkan nyawaku untukmu. Wahai
muara Cintaku!
Senja mulai menguap dalam tabir sang jingga menyapa malam, Malika
beranjak dari balik bahuku yang sedari tadi menjadi sandaran. Dalam
sekejap ia menghisap tetesan darah yang sedarai tadi memancar dari
jemariku. Sesekali ia tersenyum dalam lipatan bibir tipisnya yang manis.
"Samudra Perinduku, sekarang tak ada tinta merah yang menetes di
jemarimu. Dan aku takkan membiarkannanya menetes lagi. Apalagi jika
Malaikat maut datang Menjemputmu. Wahai Samudra Perindu, aku akan jauh
lebih tak rela melepas kepergianmu dan meninggalakan sayap-sayap
perindu dan cinta dalam kesendirianku di bumi ini. Hingga jiwaku merana!".
"Malika, Muara Cintaku. Jangan kau teruskan…."! Sembari kutaruh jari
telunjukku dalam bibirnya yang halus. "Malika, Muara Cintaku. kau
belum menjawab pertanyaanku! "
Sang fajar mulai menenggalemkan diri, dalam keterasingan senja dimana
rembulan menari menanti sang gempita malam. Malika memandangku dan
menjawab dengan nada hati-hati, "Aku adalah sang Muara Cinta yang
sangat bahagia, Tuhan menemukan kita dalam rona dan rongga bumi. Ada
hati yang tersisa dan membakar hingga membara. Wahai samudra perindu,
muara cintaku telah hanyut, telah berenang pada alam. Matahari telah
membawa lari cintaku!
"Apa maksudmu, malika?" Aku sungguh tidak mengerti….! Tatap mataku
malika, apa sebenarnya yang telah terjadi? Malika, Tuhan telah
ciptakan aku ada dan mempertemukan kita.
"Eqbal….Cintaku telah kugadaikan padaNya. Pada siapa Malika? Desak
ucapku. "Maafkan aku eqbal…" ucap lirih Malika sembari meneteskan air
mata.
"Malam itu, tepat usiaku 17 tahun, selendang putih terhampar luas
menemani langkahku. Tampak lurus tak berliku. Sepanjang taman kutemui
keindahan alam yang tak pernah kulihat sebelumnya. Indah dan maha
indah, semua terpadu dalam keterpaduan, beberapa langkah kemuadian aku
merasa kehausan dan beberapa langkah dari arah sebelah kananku kutemui
muara air yang sangat bersih. Sebelum tangan kutuangkan untuk
mengambil seteguk air tiba-tiba muncul seorang nenek yang membawa
serbuk perindu untuk menyirami pohon-pohon cinta yang mulai ranum,
tampak lusuh, terlihat capai teramat sangat! Tapi mukanya berseri
secerah bulan purnama. Tapi celaknya diriku Eqbal. Aku serakah, aku
sombong. Demi seteguk air untuk menghapus dahagaku aku lupa dengan
keterpaduan alam itu, aku menginjak pohon-pohon cinta yang mulai
ranum. Dan tahukan engkau wahai samudra Perinduku. Dialah Nenek tua
yang menanam pohon cinta dengan mata air yang bersih itu sebagai
sumber kebahagiaan dan cinta anak adam di bumi! Seketika itu pula mata
air mengering dan pohon cintapun ikut mengering begitu pula raut muka
nenek itu membeku tak bersinar.
"Wahai anakku…!matamu telah membutakan hatimu dan keringnya pohon
cinta menandakan terpenjaranya cintamu, takkan berakar dan mengakar.
Tapi jika kau mau sedikit ada benih cinta dalam hatimu, maka
gadaikanlah cintamu! Maka ranumlah semerbak cinta anak adam di bumi.
Dan ketika pecinta sejati menebus cinta untuk mu, maka takdir akan
menjemputmu dan meninggalkannya. " Ucap si Nenek disambut dengan
hembusan angin dingin. Membeku!. Akhirnya akupun terbangun dan
menggigil sekujur tubuhku.
Dan semua rasaku t'lah terbang dengan kepakan sayapnya hingga kini,
detik ini, wahai Samudra Perindu. Aku tak berdaya! Mimpi itu menjelma
dan menyisakan luka dan air mata.
"Malika…malika! Sadarlah engkau, kini aku ada. Untuk mu untuk cintamu,
perindumu! Akan kupupuk cinta itu dengan serbuk dan sayap-sayap
perinduku, cintamu akan ranum akan mekar malika…….!".
"Tuhan….ini tidak adil bagiku. Aku sangat mencintai malika. Tuhan aku
rela menebus cinta malika yang telah ia gadaikan…aku rela…ambillah
cintaku untuk menebusnya tuhan….ambillah… .!
Seketika itu hujan deras turun, petir menyambar, menggelegar. Tak
nampak lautan kulihat hanya desir ombak berteriak dan malam semakin
pekat. Tiba-tiba teriakan petir menghempas malika yang sedari tadi
ketakutan.
"Malika……….!" Teriakku. Malika terbujur kaku dan setangkai daun cinta
yang ia pegang mulai layu. Kupegang jemarinya, kupegang urat nadinya.
Dengan suara lirih Malika berucap. "Aku sangat Mencintaimu wahai
Samudra Perinduku, Eqbal. Sungguh aku dalam ketakutan yang teramat
sangat karena ketika Cintaku kau tebus maka Cintaku berpindah kedalam
ragaku tapi takdir akan memanggilku padaNya. Simpanlah daun cinta ini,
rawatlah dan siramilah dengan sayap-sayap perindu yang kau miliki".
Tidak Malika…tidak…! Jangan tinggalkan aku malika, jangan tinggalkan
aku…"Jangan tinggalkan aku……."teriakku mengalahkan marahnya halilintar
menggelegar.
Terbujur kaku tubuh malika dalam pangkuanku setelah kata-kata terindah
ia kumandangkan untukku. Kini tak ada detak nadi, tak ada sisa kata
yang terukir dari bibirnya yang halus. Tipis! Tak akan ada lesung
pipit lentik yang menghiasi pipinya. Dan yang tersisa adalah kalimat
terindah yang akan menemaniku dalam kebisuanku kini. Ya, kata-kata
yang akan mengakar dan akan kupupuk membatin dalam hatiku agar cintaku
dan cintanya ranum. Kata-kata terakhir yang ia wariskan untuk cintaku
dan cintanya bersemi dan kata-kata yang dinanti semua pujangga di
muka bumi.
"Aku sangat mencintaimu wahai samudra Perinduku"!
Pohon Cinta :
- Ranumnya sbg Kekuatan Cinta Anak Adam
- Keringnya sbg Kutukan Cinta Anak Adam
- Daun Cinta a/ Hakikat Malika ada
Mon Jul 08, 2013 7:54 pm by Hana Ismi Radliyatin
» Berbagi Cerita
Thu Jun 30, 2011 6:23 pm by zakii
» Hi apa kabar
Thu Jun 30, 2011 5:49 pm by Lia
» Spesialis PUISI_PUISI
Thu Mar 10, 2011 10:14 am by yuga anugrah
» PUISI-PUISI metafisik
Wed Mar 09, 2011 9:57 pm by yuga anugrah
» Copi bozz morphology
Sun May 02, 2010 7:14 am by zakii
» Tim Teater akan tampil lagi
Sat Apr 03, 2010 8:46 am by zakii
» Relax community BSI
Sat Apr 03, 2010 8:43 am by zakii
» Vini Vidi Vici
Sat Apr 03, 2010 8:36 am by zakii