Bahasa & Sastra Inggris UIN SGD BDG

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

Komunitas Mahasiswa sastra inggris UIN SGD BDG .

Login

Lupa password?

Similar topics

    Gallery


    TAK CUKUP HANYA CINTA Empty

    Link Bersangkutan.

    free forum

    ☺ your comment ☺

    Kursus Online CBS Bogor

    Latest topics

    » Perkenalan
    TAK CUKUP HANYA CINTA EmptyMon Jul 08, 2013 7:54 pm by Hana Ismi Radliyatin

    » Berbagi Cerita
    TAK CUKUP HANYA CINTA EmptyThu Jun 30, 2011 6:23 pm by zakii

    » Hi apa kabar
    TAK CUKUP HANYA CINTA EmptyThu Jun 30, 2011 5:49 pm by Lia

    » Spesialis PUISI_PUISI
    TAK CUKUP HANYA CINTA EmptyThu Mar 10, 2011 10:14 am by yuga anugrah

    » PUISI-PUISI metafisik
    TAK CUKUP HANYA CINTA EmptyWed Mar 09, 2011 9:57 pm by yuga anugrah

    » Copi bozz morphology
    TAK CUKUP HANYA CINTA EmptySun May 02, 2010 7:14 am by zakii

    » Tim Teater akan tampil lagi
    TAK CUKUP HANYA CINTA EmptySat Apr 03, 2010 8:46 am by zakii

    » Relax community BSI
    TAK CUKUP HANYA CINTA EmptySat Apr 03, 2010 8:43 am by zakii

    » Vini Vidi Vici
    TAK CUKUP HANYA CINTA EmptySat Apr 03, 2010 8:36 am by zakii


      TAK CUKUP HANYA CINTA

      avatar
      zakii
      Admin


      Jumlah posting : 159
      Age : 36
      Lokasi : Bandung kota kembang hijau .
      Registration date : 08.11.08

      TAK CUKUP HANYA CINTA Empty TAK CUKUP HANYA CINTA

      Post by zakii Sat Apr 03, 2010 8:29 am

      “Sendirian aja Lia? Masnya mana?”, sebuah pertanyaan tiba-tiba mengejutkan aku yang sedang mencari-cari sandal sepulang kajian tafsir Qur’an di Mesjid komplek perumahanku sore ini. Rupanya Siti Migrofah tetangga satu blok yang tinggal tidak jauh dari rumahku. Dia rajin datang ke majelis taklim di komplek ini bahkan beliaulah orang pertama yang aku kenal disini, Siti Migrofah juga yang memperkenalkanku dengan majelis taklim khusus Ibu-ibu dikomplek ini. Hanya saja kesibukan kami masing-masing membuat kami jarang bertemu, hanya seminggu sekali saat ngaji seperti ini atau saat ada acara-acara di mesjid. Mungkin karena sama-sama perantau asal Jawa, kami jadi lebih cepat akrab.
      “Kebetulan Ady sedang dinas keluar kota Teteh, Jadi Saya pergi sendiri”, jawabku sambil memakai sandal yang baru saja kutemukan diantara tumpukan sandal-sendal yang lain. “Seneng ya Neng bisa datang ke pengajian bareng suami, kadang Teteh kepingin banget ditemenin Mas Pungkit menghadiri majelis-majelis taklim”, raut muka Siti Migrofah tampak sedikit berubah seperti orang yang kecewa. Dia mulai bersemangat bercerita, mungkin lebih tepatnya mengeluarkan unek-unek. Sebenarnya aku sedikit risih juga karena semua yang Siti Migrofah, ceritakan menyangkut kehidupan rumah tangganya bersama Mas Pungkit. Tapi tidak apa-apa aku dengerin aja, masak orang mau curhat kok dilarang, semoga saja aku bisa memetik pelajaran dari apa yang dituturkan Siti Migrofah padaku. Aku dan Ady kan menikah belum genap setahun, baru 10 bulan, jadi harus banyak belajar dari pengalaman pasangan lain yang sudah mengecap asam manis pernikahan termasuk Siti Migrofah yang katanya sudah menikah dengan Mas Pungkit hampir 6 tahun lamanya.
      “neng Lia, ndak buru-buru kan? Ndak keberatan kalo kita ngobrol-ngobrol dulu”, tiba-tiba Siti Migrofah mengagetkanku. ” Nggak papa Teteh, kebetulan saya juga lagigak ada kerjaan kok, lagian kan kita dah lama nggak ngobrol-ngobrol”, jawabku sambil menuju salah satu bangku di halaman TPA yang masih satu komplek dengan Mesjid.
      Dengan suara yang pelan namun tegas Siti Migrofah mulai bercerita. Tentang kehidupan rumah tangganya yang dilalui hampir 6 tahun bersama Mas Pungkit yang semakin lama makin hambar dan kehilangan arah.
      “Aku dan mas Pungkit kenal sejak kuliah bahkan menjalani proses pacaran selama hampir 3 tahun sebelum memutuskan untuk menikah. Kami sama-sama berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja dalam hal agama”, Siti Migrofah mulai bertutur. “Bahkan, boleh dibilang sangat longgar. Kami pun juga tidak termasuk mahasiswa yang agamis. Bahasa kerennya, kami adalah mahasiswa gaul, tapi cukup berprestasi. Walaupun demikian kami berusaha sebisa mungkin tidak meninggalkan sholat. Intinya ibadah-ibadah yang wajib pasti kami jalankan, ya mungkin sekedar gugur kewajiban saja. Mas Pungkit orang yang sabar, pengertian, bisa ceramahin dan yang penting dia begitu mencintaiku, Proses pacaran yang kami jalani mulai tidak sehat, banyak bisikan-bisikan syetan yang mengarah ke perbuatan zina. Nggak ada pilihan lain, aku dan mas Pungkit harus segera menikah karena dorongan syahwat itu begitu besar. Berdasar inilah akhirnya aku menerima ajakan mas Pungkit untuk menikah”.
      “Teteh nggak minta petunjuk Alloh melalui shalat istikharah?”, tanyaku penasaran. “Itulah neng, mungkin aku ini hamba yang sombong,untuk urusan besar seperti nikah ini aku sama sekali tidak melibatkan Alloh. Jadi kalo emang akhirnya menjadi seperti ini itu semua memang akibat perbuatanku sendiri”
      “Pentingnya ilmu tentang pernikahan dan tujuan menikah menggapai sakinah dan mawaddah baru aku sadari setelah rajin mengikuti kajian-kajian guna meng upgrade diri. Sejujurnya aku akui, sama sekali tidak ada kreteria agama saat memilih mas Pungkit dulu. Yang penting mas Pungkit orang yang baik, udah mapan, sabar dan sangat mencintaiku. Soal agama, yang penting menjalankan sholat dan puasa itu sudah cukup. Toh nanti bisa dipelajari bersama-sama itu pikirku dulu. Lagian aku kan juga bukan akhwat neng, aku Cuma wanita biasa, mana mungkin pasang target untuk mendapatkan ikhwan atau laki-laki yang pemahaman agamanya baik”, papar Siti Migrofah sambil tersenyum getir.

        Similar topics

        -

        Waktu sekarang Sat Apr 20, 2024 1:20 am